SATU PETA UNTUK INDONESIA
Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI) atau biasa disebut dengan Republik Indonesia (RI) adalah negara di Asia
Tenggara yang berada diantara benua Asia dan Australia, serta berada diantara
Samudra Pasifik dan Samudra Hindia. Dari Sabang sampai Marauke banyak sekali
yang bisa kita dapatkan. Mulai dari kekayuaan akan pertumbuhan ekonomi, kekayaan sumber daya
alam, potensi swasembada pangan, keanekaragaman flora dan fauna, serta keindahan
pesisir dan laut. Akan tetapi, semua itu mulai tercemar yang disebabkan oleh jumlah
penduduk setiap tahunnya mengalami peningkatan. Kemudian pemukiman semakin
bertambah. Perambahan hutan terus berlangsung. Kebakaran hutan terjadi
dimana-mana, kerusakan mangrove, pencemaran air maupun ekosistem di laut dan
kerusakan terumbu karang. Semua ini dikarenakan adanya campur tangan dari
manusia.
Banyaknya pemukiman
menyebabkan persediaan lahan berkurang. Sehingga menyebabklan permaalahan
mengenai sengketa lahan. Sengketa lahan merupakan hal yang umum terjadi di
Indonesia. Di mana dokumen atau bukti kepemilikan seringkali tidak ada atau
tidak lengkap, dan peta seringkali berbeda dari satu instansi pemerintah dengan
instansi pemerintah lainnya. Inilah alasan besar mengapa para petani kecil,
masyarakat yang sebelumnya memegang kepemilikan atas lahan, masyarakat adat,
dan pihak-pihak lainnya seringkali mengalami situasi dimana lahan mereka
kemudian diambil dan digunakan oleh perusahaan besar. Misalnya untuk produksi
sawit, kayu, atau tambang. Terkadang instansi pemerintah yang berbeda bahkan
memberikan izin usaha yang berbeda-beda dikarenakan kewenangan yang tumpang
tindih.
Tidak adanya satu peta tata guna lahan sebagai
rujukan bersama serta proses peradilan yang lamban dan seringkali tidak
berfungsi mengakibatkan mereka yang merasa dianiaya tidak punya banyak pilihan
untuk mendapatkan keadilan, sehingga sengketa terus berlanjut dan terkadang
berujung pada kekerasan.
Diperlukan pengelolaan sumberdaya alam yang
tepat dengan cara penanaman hutan kembali, diperlukan data geospasial, serta pemetaan
guna mengetahui letak dan kepastian pemilik lahan yang saat ini telah dilakukan
oleh berbagai pihak. Ada berbagai macam sebutan untuk pemetaan, yaitu Overlap (beberapa
pihak memetakan wilayah yang sama). Gap (beberapa wilayah belum terpetakan). Presiden
Jokowi mengatakan bahwa sekarang ini, karena kita tidak mempunyai “one map
policy” (kebijakan satu peta) sehingga yang terjadi adalah sebuah tumpang
tindih.
Perihal mengenai tumpang-tindih, seorang
petani di Sumatera Selatan bernama Saad harus kehilangan lahannya seluas 38
hektar (94 akre) lahan yang dulu dimiliki keluargannya. Pada tahun 1997,
perusahaan datang untuk meratakan lahan tersebut dan menanaminya dengan sawit. Kemudian
dimanfaatkan sebagai bahan dasar makanan, kosmetik, biodiesel, serta ratusan
produk lainnya di seluruh dunia. Sawit telah menghasilkan banyak keuntungan dan
membawa miliaran dolar pendapatan bagi Indonesia dari perdagangan luar negeri.
Akan tetapi, dampak yang ditimbulkan sawit sangat besar. Desentralisasi
besar-besaran yang terjadi di Indonesia pada tahun 1999 membuka jalan bagi
instansi pemerintah untuk menerbitkan konsesi lahan kepada para investor.
Untuk mengatasi masalah ini, pemerintah sedang
berupaya menyusun sebuah satu peta tunggal Indonesia dengan menggunakan
teknik-teknik pemetaan partisipatif dan transformasi konflik melalui sebuah
inisiatif bernama Satu Peta. World
Resources Institute (WRI) Indonesia sedang tengah mendukung implementasi
kebijakan Satu Peta yang diusung oleh pemerintah pusat sebagai pendekatan
inovatif demi menyelesaikan perselisihan tersebut. Tim WRI bekerja sama dengan
komunitas masyarakat di empat provinsi yaitu Riau, Sumatera Selatan, Papua dan
Papua Barat untuk membantu menyusun peta terpadu dan mempertemukan para
pemangku kepentingan yang berselisih untuk menemukan solusi. Kebijakan satu
peta yaitu satu referensi, satu standar, satu basisdata dan satu geoporial.
Infrastruktur
dasar terkait tata guna lahan masih butuh perbaikan. Kepastian hukum terhadap
lahan terbilang sangat lemah. Sengkarut permasalahan sosial serta faktor
historis penggunaan lahan jarang tersentuh. Pengelolahan satu peta ini masih
dalam perbincangan. Dikarena ada bebrapa faktor yaitu konservasi,
ekstensifikasi, masyarakat adat, desa dinas.
Ada beberapa proses yang verifikasi dan
validasi Hutan Adat. Seorang Bupati/Kepala Daerah membuat surat permohonan
penetapan areal hutan adat kepada Menteri LHK. Kemudian tim verifikasi dan
validasi melakukan adminitrasi verifikasi dan validasi. Melihat biofisiknya dan
langsung terjun ke lapangan menuju kelembagaan NHA. Lalu menyusun berita acara
verifikasi dan validasi. Mengikuti alur dan SK Penetapan Pencantuman Areal
Hutan Adat.
Seringkali terjadi dua sertifikan kepemilikan
lahan. Contohnya Aldi dan Andi memiliki kesamaan sertifikat lahan tanah.
Melalui masalah tersebut, dapat dilakukan dengan dua cara. Pertama, dengan cara
teknik. Menggunakan sistem pengumpulan data yang dibutuhkan. Kedua, dengan cara
non teknik. Pengsingkronan peta-petanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar