Sabtu, 25 November 2017

ENVIRO PETA


SATU PETA UNTUK INDONESIA 


Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) atau biasa disebut dengan Republik Indonesia (RI) adalah negara di Asia Tenggara yang berada diantara benua Asia dan Australia, serta berada diantara Samudra Pasifik dan Samudra Hindia. Dari Sabang sampai Marauke banyak sekali yang bisa kita dapatkan. Mulai dari kekayuaan akan pertumbuhan ekonomi, kekayaan sumber daya alam, potensi swasembada pangan, keanekaragaman flora dan fauna, serta keindahan pesisir dan laut. Akan tetapi, semua itu mulai tercemar yang disebabkan oleh jumlah penduduk setiap tahunnya mengalami peningkatan. Kemudian pemukiman semakin bertambah. Perambahan hutan terus berlangsung. Kebakaran hutan terjadi dimana-mana, kerusakan mangrove, pencemaran air maupun ekosistem di laut dan kerusakan terumbu karang. Semua ini dikarenakan adanya campur tangan dari manusia.
Banyaknya pemukiman menyebabkan persediaan lahan berkurang. Sehingga menyebabklan permaalahan mengenai sengketa lahan. Sengketa lahan merupakan hal yang umum terjadi di Indonesia. Di mana dokumen atau bukti kepemilikan seringkali tidak ada atau tidak lengkap, dan peta seringkali berbeda dari satu instansi pemerintah dengan instansi pemerintah lainnya. Inilah alasan besar mengapa para petani kecil, masyarakat yang sebelumnya memegang kepemilikan atas lahan, masyarakat adat, dan pihak-pihak lainnya seringkali mengalami situasi dimana lahan mereka kemudian diambil dan digunakan oleh perusahaan besar. Misalnya untuk produksi sawit, kayu, atau tambang. Terkadang instansi pemerintah yang berbeda bahkan memberikan izin usaha yang berbeda-beda dikarenakan kewenangan yang tumpang tindih.
Tidak adanya satu peta tata guna lahan sebagai rujukan bersama serta proses peradilan yang lamban dan seringkali tidak berfungsi mengakibatkan mereka yang merasa dianiaya tidak punya banyak pilihan untuk mendapatkan keadilan, sehingga sengketa terus berlanjut dan terkadang berujung pada kekerasan.
Diperlukan pengelolaan sumberdaya alam yang tepat dengan cara penanaman hutan kembali, diperlukan data geospasial, serta pemetaan guna mengetahui letak dan kepastian pemilik lahan yang saat ini telah dilakukan oleh berbagai pihak. Ada berbagai macam sebutan untuk pemetaan, yaitu Overlap (beberapa pihak memetakan wilayah yang sama). Gap (beberapa wilayah belum terpetakan). Presiden Jokowi mengatakan bahwa sekarang ini, karena kita tidak mempunyai “one map policy” (kebijakan satu peta) sehingga yang terjadi adalah sebuah tumpang tindih.
Perihal mengenai tumpang-tindih, seorang petani di Sumatera Selatan bernama Saad harus kehilangan lahannya seluas 38 hektar (94 akre) lahan yang dulu dimiliki keluargannya. Pada tahun 1997, perusahaan datang untuk meratakan lahan tersebut dan menanaminya dengan sawit. Kemudian dimanfaatkan sebagai bahan dasar makanan, kosmetik, biodiesel, serta ratusan produk lainnya di seluruh dunia. Sawit telah menghasilkan banyak keuntungan dan membawa miliaran dolar pendapatan bagi Indonesia dari perdagangan luar negeri. Akan tetapi, dampak yang ditimbulkan sawit sangat besar. Desentralisasi besar-besaran yang terjadi di Indonesia pada tahun 1999 membuka jalan bagi instansi pemerintah untuk menerbitkan konsesi lahan kepada para investor.
Untuk mengatasi masalah ini, pemerintah sedang berupaya menyusun sebuah satu peta tunggal Indonesia dengan menggunakan teknik-teknik pemetaan partisipatif dan transformasi konflik melalui sebuah inisiatif bernama Satu Peta. World Resources Institute (WRI) Indonesia sedang tengah mendukung implementasi kebijakan Satu Peta yang diusung oleh pemerintah pusat sebagai pendekatan inovatif demi menyelesaikan perselisihan tersebut. Tim WRI bekerja sama dengan komunitas masyarakat di empat provinsi yaitu Riau, Sumatera Selatan, Papua dan Papua Barat untuk membantu menyusun peta terpadu dan mempertemukan para pemangku kepentingan yang berselisih untuk menemukan solusi. Kebijakan satu peta yaitu satu referensi, satu standar, satu basisdata dan satu geoporial.
            Infrastruktur dasar terkait tata guna lahan masih butuh perbaikan. Kepastian hukum terhadap lahan terbilang sangat lemah. Sengkarut permasalahan sosial serta faktor historis penggunaan lahan jarang tersentuh. Pengelolahan satu peta ini masih dalam perbincangan. Dikarena ada bebrapa faktor yaitu konservasi, ekstensifikasi, masyarakat adat, desa dinas.
Ada beberapa proses yang verifikasi dan validasi Hutan Adat. Seorang  Bupati/Kepala Daerah membuat surat permohonan penetapan areal hutan adat kepada Menteri LHK. Kemudian tim verifikasi dan validasi melakukan adminitrasi verifikasi dan validasi. Melihat biofisiknya dan langsung terjun ke lapangan menuju kelembagaan NHA. Lalu menyusun berita acara verifikasi dan validasi. Mengikuti alur dan SK Penetapan Pencantuman Areal Hutan Adat.

Seringkali terjadi dua sertifikan kepemilikan lahan. Contohnya Aldi dan Andi memiliki kesamaan sertifikat lahan tanah. Melalui masalah tersebut, dapat dilakukan dengan dua cara. Pertama, dengan cara teknik. Menggunakan sistem pengumpulan data yang dibutuhkan. Kedua, dengan cara non teknik. Pengsingkronan peta-petanya. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

GLOBAL JOURNALISM

TEMBAKAU INDONESIA MENYUMBANG PEMASUKKAN GLOBAL Penulis : Grace Priskila Hakim Ilustrasi rokok dan pohon tembakau (GRACE PRISKILA ...